PERMASALAHAN PEKERJA PEREMPUAN SECARA MAKRO DI INDONESIA
1. Pekerja Paruh Waktu Menurut Jenis Kelamin
Satuan angkatan kerja nasional pada Agustus 2018 menunjukkan persentase perempuan yang bekerja paruh waktu berdasarkan hasil Sakernas Agustus 2018 adalah sebesar 56,53 persen. Artinya, dari 100 pekerja paruh waktu, sekitar 56 sampai 57 orang diantaranya adalah perempuan. Persentase perempuan pada pekerja paruh waktu Agustus 2018 bila dibandingkan dengan keadaan tahun lalu (Agustus 2017) dan Februari 2018 masing-masing mengalami penurunan sebesar 0,21 persen poin dan 1,15 persen poin.
Sumber; BPS 2018
Pekerja Perempuan Rentan Terhadap Informalitas
Data TURC dan Institut Kapal Perempuan Berbagai literatur menyebutkan bahwa sektor informal di Indonesia dapat berbahaya bagi perekonomian dan secara khusus bagi tenaga kerja.
Sedangkan bagi tenaga kerja, pekerjaan di sektor informal cenderung tidak ramah dalam menciptakan pekerjaan yang layak (decent work), memberikan upah yang relatif rendah dibanding upah minimum, tanpa perlindungan sosial bagi tenaga kerja, serta tanpa perlindungan hak normatif lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan.
Mayoritas Perempuan Bekerja di Sektor Informal
Sumber: BPS, Sakernas 2018
Berdasarkan perbedaan jenis kelamin, Sakernas Agustus 2018 menunjukkan bahwa sektor formal masih didominasi kaum laki-laki, dengan proporsi mencapai 65,78 persen (hampir dua per tiga bagian), sedangkan pada Agustus 2017 mencapai 65,62 persen. Begitu juga pada sektor informal kaum laki-laki juga mendominasi walaupun dengan perbedaan yang tidak mencolok. Pada Agustus 2018, persentase penduduk informal yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 57,96 persen sedangkan perempuan sebesar 42,04 persen.
Rata-Rata Upah Pekerja Perempuan
Berdasarkan hasil Sakernas Agustus 2018 seperti yang tampak pada Tabel 13, rata-rata upah/gaji bersih sebulan buruh/karyawan/pegawai mencapai 2,83 juta rupiah dan mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan keadaan tahun lalu (Agustus 2017) dan Februari 2018 dengan kisaran masing-masing sebanyak 90 ribu rupiah dan 180 ribu rupiah.
Berdasarkan jenis kelamin, rata-rata upah/gaji bersih sebulan buruh/karyawan/pegawai laki-laki selalu lebih tinggi daripada perempuan yaitu sebesar 3,06 juta rupiah sedangkan perempuan hanya sebesar 2,4 juta rupiah pada Agustus 2018. Tren untuk rata-rata upah atau gaji bersih sebulan buruh/karyawan/pegawai baik pada pada laki-laki maupun perempuan cenderung meningkat dibanding dua periode sebelumnya dan searah dengan trend totalnya. Pada laki-laki terjadi peningkatan dengan kisaran sebanyak 70 ribu rupiah dibanding Agustus 2017 dan 150 ribu rupiah dibanding Februari 2018. Begitu pula pada perempuan, rata-rata upah/gaji bersih sebulan buruh/karyawan/pegawainya meningkat kisaran sebanyak 100 ribu rupiah dibanding Agustus 2017 dan 190 ribu rupiah dibanding Februari 2018.
Diskriminasi Perempuan di Tempat Kerja
Temuan sejumlah serikat buruh menyatakan bahwa perempuan lebih sering mendapatkan status kerja kontrak ketimbang laki-laki. Masih banyak pula perusahaan yang belum mengakomodir hak kesehatan reproduksi perempuan, misalnya pemberian cuti haid dan melahirkan, serta sarana laktasi. Komnas Perempuan mencatat angka kekerasan terhadap perempuan di ruang publik selama 2018 sebanyak 3.915 kasus. Kekerasan seksual menempati peringkat pertama sebanyak 2.521 kasus, diikuti kekerasan fisik 883 kasus, kekerasan psikis 212 kasus, trafficking 158 kasus, dan kasus pekerja migran 141 kasus. Tiga jenis kekerasan seksual yang paling banyak terjadi di ranah publik, yakni pencabulan sebanyak 1.136 kasus, perkosaan 762 kasus, dan pelecehan seksual 394 kasus.
Bukan hanya tentang kekerasan, kehamilan pada perempuan menjadi ancaman bagi mereka karena akan kehilangan pekerjaan. Perempuan Mahardika, organisasi nirlaba yang fokus pada perlindungan perempuan dari kekerasan seksual, pernah melakukan penelitian tentang hak maternitas buruh perempuan di Cakung, yang rilis pertengahan 2017. Dari total 773 buruh perempuan di KBN Cakung yang mengikuti survei Perempuan Mahardika, dalam periode 2015-2017, ada 118 buruh garmen perempuan yang pernah hamil dan sedang hamil. Sebanyak 93 orang di antaranya pernah hamil, dan 25 orang sedang hamil saat mengisi survei. Sebanyak 13 orang dari 25 tersebut berstatus kontrak. Sebanyak 30 orang atau 25,4 persen dari mereka yang pernah hamil saat bekerja harus tetap lembur selama masa hamil; 42 buruh tidak dapat izin periksa kandungan dari atasan. Meski ada 72 buruh yang pernah hamil mendapatkan cuti melahirkan dari perusahaan selama 3 bulan dan 2 buruh mendapatkan cuti melahirkan kurang dari 3 bulan, tetapi ada 19 buruh yang tidak mendapatkan cuti melahirkan
Pelecehan Seksual di Tempat Kerja
Pelecehan seksual adalah segala tindakan seksual yang tidak diinginkan, permintaan untuk melakukan perbuatan seksual, tindakan lisan atau fisik atau isyarat yang bersifat seksual, atau perilaku lain apa pun yang bersifat seksual, yang membuat seseorang merasa tersinggung, dipermalukan dan/atau terintimidasi, dan tindakan tersebut mengganggu kerja, dijadikan persyaratan kerja atau menciptakan lingkungan kerja yang mengintimidasi, bermusuhan atau tidak sopan. Maraknya pelecehan seksual di tempat kerja sampai memunculkan anggapan di kalangan buruh garmen perempuan bahwa pelecehan seksual adalah hal wajar atau umum terjadi.
Sumber: Perempuan Mahardhika, 2017
Kekerasan di Tempat Kerja Menurunkan Produktivitas
Para pekerja yang selalu ditekan, dikritik, dan tak boleh berpendapat di tempat kerja bisa menimbulkan efek yang serius dan bisa meledak sewaktu-waktu. Hal itu sama buruknya seperti efek yang ditimbulkan dari tindakan pelecehan seksual terhadap pekerja. Berdasarkan riset tentang tindakan kekerasan dan pelecehan seksual dalam tempat kerja, kedua hal tersebut berkorelasi menimbulkan banyak efek negatif, misalnya semangat kerja yang terus melorot, stres, produktivitas menurun, kesehatan psikologis pekerja terganggu.
Hasil penelitian terhadap 110 jenis soal kekerasan dan pelecehan seksual yang dilakukan selama 21 tahun, diantaranya konflik para pekerja, tindak kekerasan, dan perkataan yang tak sopan. Riset itu menggunakan lebih dari 128 sampel dan melibatkan 1.491 hingga 53.470 pekerja termasuk 46 orang yang mengalami pelecehan seksual, 86 pekerja mengalami kekerasan dalam kerja, dan 6 pekerja yang mengalami kedua hal tersebut sekaligus. Riset ini dilakukan oleh Sandy Herskovits, Peneliti dari Universitas Manitoba, dan Julian Barling, peneliti Universitas Queen, di Kingston, Ontario, Kanada. Temuan riset ini menyatakan bahwa pekerja yang mengalami tindak kekerasan dalam kerja, baik berupa ucapan kasar atau adanya friksi antar personal, akan memilih keluar dan mencari suasana yang lebih baik. Bahkan, mereka tidak punya gairah menjalani tugasnya dan enggan berhubungan dengan atasan dibandingkan pekerja yang pernah mengalami pelecehan seksual.
Penulis: Rizky Amalia, Mohammad Didit Saleh
Trade Union Rights Center